DZIKIR BERJAMAAH DENGAN SUARA KERAS DAN BADAN BERGOYANG-GOYANG
# DZIKIR BERJAMAAH DENGAN SUARA KERAS DAN BADAN BERGOYANG-GOYANG #
Bismillah
Sesungguhnya di antara nikmat yang Allah berikan kepada manusia adalah
dengan disempurnakannya agama ini, agama yang dengannya Rasulullah
shallallah aialihi wasallam diutus membawa risalah dari Allah Ta’ala.
Sehingga ketika manusia menghadapi problema hidupnya, sepantasnya ia
merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang shahih. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah:
“Kenikmatan yang mutlak adalah yang berkelanjutan, berupa kebahagiaan
yang abadi yaitu nikmat Islam dan As Sunnah.” (Ijtima’ul Juyusy, Ibnul
Qayyim)
Di sisi lain, para setan di bawah kepemimpinan Iblis
terlaknat juga tidak akan pernah berhenti untuk melakukan tipu daya
dengan berbagai rayuan manis sehingga menampakkan kebatilan seperti
sebuah kebenaran yang tak perlu diragukan. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا
“Maka apakah orang yang menganggap baik pekerjaannya yang buruk, lalu
dia meyakini pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu
oleh setan)?” (Fathir: 8)
Dan firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدَُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُوْنَ صُنْعاً
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya’.”
(Al-Kahfi: 103-104)
Namun seiring dengan munculnya kesesatan
dan penyimpangan tersebut, akan tetap muncul para pembela sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan kesesatan
orang-orang yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil. Juga
membendung orang ataupun kelompok yang senantiasa mengaburkan dakwah
yang benar yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
para shahabatnya.
Di antara golongan yang menyimpang dari
petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya
adalah kaum Sufiyah. Aliran ini telah banyak memberikan ‘kontribusi’
kepada Islam dengan beragam bid’ahnya, yakni berupa model-model ibadah
yang tidak ada asalnya dalam syariat. Parahnya lagi, setiap tarekat sufi
mempunyai cara dan model tersendiri yang berbeda dengan kelompok sufi
lainnya, tergantung bagaimana pemimpin mereka membuatnya.
Contoh yang paling nyata dan ‘terkini’ adalah model dan cara berdzikir
ala Arifin Ilham, seorang tokoh sufi yang berasal dari Banjarmasin.
Dengan gaya bahasa dan tutur katanya yang ‘lembut’, ia mampu memikat
sekian banyak orang untuk ikut serta dalam acaranya. Pria wanita, tua
muda, politikus maupun orang kebanyakan tak ketinggalan untuk terlibat
di dalam amalan yang disebutnya sebagai dzikir taubat dan semacamnya.
Secara berjamaah, dibacalah apa yang disebut dzikir itu dengan suara
keras, diikuti suara tangisan sambil menggerak-gerakkan anggota tubuh.
Tak ketinggalan untuk dibaca asmaul husna, shalawat Nabi, dan beberapa
ayat Al Qur’an dengan cara serupa, suatu model yang sama sekali tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah
beliau sebut dengan BID’AH.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah
telah didefinisikan Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya
Al-I’tisham: “Suatu jalan yang diada-adakan di dalam agama yang ingin
menyamai syariat, yang dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Azza Wajalla.”
Dan beliau membaginya menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang sama sekali tidak
didasari dengan dalil yang syar’i, tidak terdapat dalam Al Qur’an, tidak
pula dalam As Sunnah. Dan tidak pula dalam ijma’ maupun qiyas, serta
tidak berdasarkan pendalilan yang benar menurut ahli ilmu baik secara
global maupun terperinci.
Kedua: Bid’ah idhafiyyah, yaitu
bid’ah yang memiliki dua unsur. Unsur pertama berhubungan dengan dalil.
Dari sisi ini, belum merupakan bid’ah. Namun dari unsur yang lain, tidak
ada hubungan dengan dalil dan persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Dan hal
ini terkadang disebabkan karena adanya tambahan dalam cara
mengerjakannya, waktu dan tempat yang tidak sesuai, dan sebagainya.
(Al-I’tisham)
Dari pembagian tersebut, jelaslah bahwa tidak
semua amalan yang asalnya dibangun di atas dalil, menjadi perkara yang
disyariatkan secara utuh dari segala sisi. Namun harus dilihat dari
cara, tempat, waktu, dan jumlahnya. Berkata As-Suyuthi rahimahullah
dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba’ ketika menyebutkan bahwa sebagian
bid’ah terkadang disangka oleh mayoritas kaum muslimin sebagai ibadah,
ketaatan, dan cara mendekatkan diri kepada-Nya:
“Bagian yang
kedua: Ada yang dianggap oleh sebagian manusia sebagai amalan taat dan
mendekatkan diri (kepada Allah), padahal tidak demikian. Apakah
meninggalkan amalan tersebut lebih afdhal dari melakukannya, yaitu
apa-apa yang telah diperintahkan oleh syariat pada satu bentuk di antara
sekian bentuk, pada waktu yang khusus atau tempat tertentu, seperti
puasa di siang hari ataukah thawaf di Ka’bah? Ataukah (syariat)
memerintahkan kepada seseorang tanpa yang lain, seperti yang Nabi
shallallahu alaihi wsalallam khususkan dalam beberapa perkara mubah atau
beberapa keringanan? Maka (datanglah) orang yang bodoh mengqiyaskannya.
Kemudian diapun melakukannya, padahal hal tersebut terlarang atau
mengqiyaskan sebagian bentuk (ibadah) dengan lainnya tanpa membedakan
tempat dan waktu.” (Ilmu Ushul Bida’, hal. 77, ‘Ali Al-Halabi)
Di sini kami akan memberikan beberapa contoh tentang hal tersebut:
1) Membaca Al Qur’an merupakan ibadah yang mulia dan banyak
keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kami sebutkan di antaranya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya
dari hadits Abu Umamah radhiallahu anhu. Ia berkata: Aku telah mendengar
Rasululllah shallalahu alaihi wasallam bersabda:
اقْرَؤُوا الْقْرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah kalian Al Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada para ahlinya.”
Meski keutamaannya besar, membaca Al Qur’an ternyata dilarang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika dilakukan di saat sujud
maupun ruku’ dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim
dalam Shahih-nya dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bahwa
Rasululah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَلآ إِنِّيْ
نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِداً فَأَمَّا
الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهَ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ
فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ فَقمن أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al Qur’an dalam keadaan ruku’
maupun sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah Rabb kepadanya. Adapun
sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka selayaknyalah
dikabulkan bagi kalian.”
2) Demikian pula shalat yang merupakan
sebaik-baik perkara dan termasuk amalan yang paling afdhal, sebagaimana
yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
الصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ
“Shalat adalah sebaik-baik perkara.”
(HR. At-Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shagir dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Namun ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat
pada waktu-waktu tertentu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ia berkata:
شَهِدَ عِنْدِيْ رِجَالٌ مَرْضِيُّوْنَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِيْ عُمَرُ،
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ
الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطَّلِعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ
الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Telah bersaksi di sisiku
beberapa orang yang diridhai dan yang paling aku ridha adalah ‘Umar,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat setelah
fajar hingga terbitnya matahari, dan setelah ‘Ashar hingga terbenamnya
matahari.”
Maka cukuplah dua contoh ini mewakili yang lainnya dalam menjelaskan bahwa amalan ibadah merupakan perkara tauqifiyyah.
Penyimpangan dalam Dzikir Berjamaah Model Arifin Ilham
1- Membaca dengan Suara Keras secara Berjamaah
Hal ini telah diingkari oleh para ulama karena tidak ada dasarnya sama
sekali dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun kalangan
shahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik. Sehingga ini
merupakan perkara bid’ah yang harus dijauhi. Berkata Asy-Syathibi
rahimahullah:
“Apabila syariat menganjurkan dzikrullah kemudian
suatu kaum menerapkannya dengan cara berkumpul di atas lisan dan suara
yang satu. Atau pada waktu khusus yang telah diketahui di mana syariat
tidak menetapkan pengkhususan itu, bahkan sebaliknya. Sebab, mewajibkan
hal-hal yang tidak wajib secara syar’i berarti keadaannya adalah
memahamkan syariat, khususnya bila orang itu dijadikan contoh dalam
perkumpulan manusia seperti masjid-masjid. Maka apabila penampakannya
seperti ini lalu diaplikasikan di masjid-masjid seperti syi’ar-syi’ar
Islam lainnya yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam di masjid-masjid dan semisalnya –seperti adzan, shalat ‘ied,
istisqa, dan kusuf-, maka tidaklah diragukan bahwa (hal tersebut)
difahami sebagai perkara sunnah, dan tidak difahami sebagai wajib. Lalu
lebih pantas untuk tidak dikategorikan ke dalam dalil tersebut, maka
dari sisi inilah menjadi bid’ah.”
Lalu beliau berkata: “Seperti
pula doa, karena itu termasuk dzikrullah. Namun mereka (as-salafush
shalih, red) tidak menetapkan cara-cara tertentu dan tidak mengkhususkan
waktunya, -di mana hal itu memberikan isyarat adanya pengkhususan
ibadah pada waktu-waktu tersebut- kecuali yang telah ditentukan oleh
dalil, seperti waktu pagi dan petang. Dan mereka tidak menampakkannya
kecuali apa yang dinyatakan syariat unutuk ditampakkan (di-jahr-kan),
seperti berdzikir pada dua hari raya (takbir) dan yang semisalnya.
Adapun selain itu, maka mereka senantiasa menyembunyikannya dan
men-sirr-kannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengatakan kepada mereka ketika mereka mengangkat suaranya:
أَرْبِعُوْا عَلىَ أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا
“Kasihanilah diri-diri kalian sesungguhnya kalian tidaklah meminta kepada yang tuli dan tidak hadir.” (Muttafaqun ‘alaih)
dan yang semisalnya. Maka mereka tidak mengeraskannya pada perkumpulan-perkumpulan.
Maka setiap yang menyelisihi prinsip ini, maka sungguh dia telah
menyelisihi dalil yang mutlak. Karena dia mengkhususkannya dengan akal
dan menyelisihi orang yang lebih mengerti tentang syariat –yaitu mereka
para ulama salafus shalih-. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam
meninggalkan suatu amalan yang beliau senang mengerjakannya, karena
khawatir diamalkan oleh manusia lalu diwajibkan atas mereka.”
(Al-I’tisham, 1/318-319, Asy-Syathibi)
2)- Bid’ahnya Shalawat Model Arifin Ilham:
Inilah model shalawat yang diucapkan pada dzikir bid’ahnya:
يَا نَبِيُّ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Dan dalam buku tulisan Ahmad Dimyathi Badruzzaman tentang dzikir berjamaah menyebutkannya dengan lafadz:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ
Lafadz model ini termasuk shalawat yang menyimpang dari Sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tidaklah demikian
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan umatnya. Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Shalawat kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dengan lafadz hadits lebih afdhal dari
setiap lafadz, dan tidaklah ditambah seperti pada (lafadz adzan dan
tasyahhud). Ini dikatakan oleh imam yang empat dan selainnya.”
(Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 92)
Demikian pula lafadz
“habibullah” tidaklah shahih penisbahannya kepada Rasulullah
shallallahu aalihi wasallam. Berkata Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah:
“Telah tsabit bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapatkan derajat
kecintaan tertinggi, yaitu khullah (khalilullah yang berarti kekasih
dekat Allah, red). Sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ اتَّخَذَنِي خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai khalil sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim)
dan sabdanya:
وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أَهْلِ اْلأَرْضِ خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ
أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً وَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ
“Kalau sekiranya aku mengambil dari penduduk bumi sebagai khalil,
niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Namun shahabat
kalian ini (yaitu Nabi) adalah khalilnya Ar-Rahman.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah dan juga semakna diriwayatkan Muslim)
Dan keduanya
terdapat dalam kitab Shahih. Dengan kedua (hadits) ini membatalkan
perkataan yang mengatakan: Al-Khullah (khalilullah) untuk Ibrahim
sedangkan Al-Mahabbah (Habibullah) untuk Muhammad. Maka Ibrahim adalah
Khalilullah sedangkan Muhammad adalah Habibullah.”
Lalu beliau melanjutkan, “Adapun mahabbah maka itu didapatkan oleh selain beliau shallallahu alaihi wasallam. Allah berfirman:
وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan Allah cinta kepada setiap orang yang berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 134)
Dan firman-Nya:
فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Sesungguhnya Allah cinta (mahabbah) kepada orang yang bertaqwa.” (Ali ‘Imran: 76)
Dan firman-Nya:
فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang selalu bertaubat dan bersuci.” (Al-Baqarah: 222)
Maka batallah pendapat yang mengatakan kekhususan khullah bagi Ibrahim
dan mahabbah bagi Muhammad. Namun khullah adalah khusus bagi keduanya
sedangkan mahabbah untuk umum. Adapun hadits Ibnu ‘Abbas yang
diriwayatkan At-Tirmidzi yang padanya terdapat:
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلُ اللهِ أَلآ وَأَنَا حَبِيْبُ اللهِ وَلاَ فَخْرَ
‘Sesungguhnya Ibrahim itu khalilullah. Ketahuilah, aku adalah habibullah dan tidak sombong.’
Ini tidak shahih” (Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/164-165, tahqiq Al-Arnauth).
3)- Mengeraskan dan Mengangkat Suara ketika Berdo’a
Hal ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan untuk merendahkan suara di saat berdoa. Firman-Nya:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah
pula merendahkannya. Dan carilah jalan tengah antara keduanya.”
(Al-Isra: 110)
Makna (بصلاتك) yaitu: doamu. Berkata ‘Aisyah radhiallahu anha: “Ayat ini diturunkan tentang doa.” (Muttafaqun alaihi)
Dan firman-Nya:
ادْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-A’raf: 55)
Berkata sebagian ahli tafsir: “Makna
‘orang-orang yang melampaui batas’ dalam mengangkat suaranya dalam doa.”
Berkata Ibnu Juraij dalam menafsirkan ayat ini: ”Termasuk melampaui
batas: mengangkat suara dalam memanggil dan doa seperti berteriak.
Adalah mereka diperintahkan merendahkan dan tenang.” (Lihat Tash-hih
Ad-Du’a, hal. 71, Bakr bin Abdillah Abu Zaid)
4)- Menggerak-gerakkan Tubuh ketika Dzikir
Ini termasuk menyerupai orang Yahudi ketika mereka membaca kitab
mereka. Berkata Ar-Ra’i Al-Andalusi rahimahullah: “Demikian pula
penduduk Mesir telah menyerupai Yahudi dalam bergerak-gerak di saat
belajar dan sibuk. Dan ini termasuk perbuatan orang Yahudi.”
Berkata Bakr Abu Zaid: “Wajib atas orang-orang yang berdzikir kepada
Allah, yang bertawajjuh dengan doa kepada Allah, para penghafal kitab
Allah, yang membuat madrasah-madrasah dan halaqah tahfidz Al Qur’an agar
meninggalkan bid’ah bergerak-gerak ketika membaca. Dan hendaklah
mendidik anak-anak kaum muslimin di atas sunnah dan menjauhi bid’ah.”
(Tash-hih Ad-Du’a, hal. 80-81) . Wallahul Muwaffiq Ilaa Sabiil
Ar-rasyaad
Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamaal Al-Bugisi, Judul : Bid’ahnya Dzikir Berjamaah
Referensi : https://www.facebook.com/alfiqatun.najiah/posts/208609245978584
Tidak ada komentar:
Posting Komentar