Jumat, 11 Oktober 2013

NIAT BAIK TIDAK DAPAT MENGUBAH YANG HARAM MENJADI HALAL

NIAT BAIK TIDAK DAPAT MENGUBAH YANG HARAM MENJADI HALAL

11 April 2011 pukul 0:53
Sebagaimana yang telah diketahui oleh setiap Muslim dan Muslimah bahwa niat tidak dapat mempengaruhi yang haram. Oleh karena itu, sebaik apa pun niatnya dan semulia apa pun tujuannya, maka niatnya tidak dapat menghalalkan yang haram dan tidak dapat melepaskan sifat kekotoran, karena memang inilah yang menjadi sebab pengharamannya.

Barang siapa mengambil riba atau mencuri harta, atau mencari harta dengan cara yang dilarang dengan niat untuk membangun masjid atau mendirikan tempat panti asuhan anak yatim atau mendirikan pesantren, madrasah, sekolah tahfizh (hafalan) al-Qur-an, atau untuk disedekahkan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, atau bentuk-bentuk kebaikan apa pun, maka niat yang baik ini tidak berpengaruh apa-apa serta tidak dapat meringankan dosa yang haram.

Praktek seperti ini banyak terjadi. Misalnya, seseorang yang mendepositokan uangnya di Bank, lalu bunga (riba)nya digunakan untuk membangun masjid atau pesantren. Maka perbuatan ini layak dipertanyakan, benarkah? Bunga (riba) bank adalah haram menurut para ulama. Lalu bagaimana mungkin barang haram digunakan untuk proyek kebaikan?

Sebagaimana pejabat yang mendapat uang jutaan atau miliaran rupiah dari hasil manipulasi, atau korupsi, atau seorang penjudi, atau seorang pelacur, kemudian mereka berniat menolong anak yatim dan orang miskin dari hasil pekerjaan yang haram itu, maka hukumnya tetap haram, hartanya tidak boleh digunakan untuk berbagai kegiatan kebaikan. Suatu perbuatan yang haram tidak dapat dibersihkan dengan mensedekahkan uang hasil perbuatan haram. Allah tidak akan menerima yang haram meskipun dengan niat yang baik.

Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
(( ... إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا .... ))
“… Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik .…”
[Shahih: HR. Muslim (no. 1015), at-Tirmidzi (no. 2989), dan Ahmad (II/328)].

Harta yang haram bukanlah milik orang yang mendapatkannya. Karena itu, tidak boleh ia bersedekah dengan harta tersebut. Harta apa pun yang dikeluarkan dari hasil bunga (riba), pencurian, pelacuran, perdukunan, manipulasi, dan perbuatan haram lainnya, maka semua itu tidak diterima oleh Allah Ta'ala.

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pernah berwasiat kepada ‘Ali bin al-Hasan: “… Janganlah engkau melakukan usaha (mencari mata pencaharian) yang buruk kemudian engkau infakkan hasilnya dalam rangka mentaati Allah, karena meninggalkan pekerjaan (usaha) yang buruk merupakan satu kewajiban dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.

Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang bajunya terkena air kencing, kemudian ia ingin mencucinya dengan air kencing yang lain? Apakah mungkin dapat membersihkannya? Jelas tidak mungkin bersih! Kotoran tidak mungkin dibersihkan kecuali dengan sesuatu yang bersih dan baik. Demikian pula perbuatan yang buruk, hanya bisa dihapuskan dengan kebaikan. Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya sesuatu yang haram tidak akan diterima karena suatu amalan, atau mungkinkah seseorang melakukan dosa lantas menghapuskannya dengan dosa yang lain?”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya’ (VII/74-75, no. 9686); dikutip dari Min Washaaya as-Salaf (hlm. 41) oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daar Ibnil Jauzi, th. 1412 H].

Dari sinilah kita mengetahui bahwasanya Islam menolak prinsip Machiavelli, yaitu tujuan menghalalkan segala cara. Islam juga tidak menerima berbagai cara kecuali yang bersih untuk mencapai tujuan yang mulia. Jadi, niat yang baik harus disertai juga dengan cara yang benar dan baik.

NIAT BAIK TIDAK DAPAT MENGUBAH SESUATU YANG BID’AH
[Lihat pembahasan lengkapnya di kitab ‘Ilmu Ushul al-Bida’ (hlm. 59-63) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi, cet. Daar ar-Rayah, th. 1417 H].

Ketika sebagian orang melakukan perbuatan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, atau tidak bertujuan melawan (menentang) syari’at, atau tidak mempunyai pikiran untuk menambah sesuatu dalam agama, atau tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah! Bahkan, sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam:
(( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ. ))
“Sesungguhnya segala amal bergantung pada niat.”

Untuk menjelaskan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, maka dengan memohon pertolongan kepada Allah, kami akan jelaskan sebagai berikut.
Sesungguhnya wajib bagi seorang Muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil dengan meninggalkan sebagian yang lain. Akan tetapi, wajib baginya memperhatikan seluruh dalil secara menyeluruh hingga hukumnya mendekati kepada kebenaran dan menjauhi kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan apabila ia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dan menggunakan dalil.

Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwasanya sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat,” merupakan penjelasan tentang salah satu pilar dari dua pilar dasar setiap amalan, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya. Adapun pilar kedua yaitu setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:
(( مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هٰذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. ))
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama kami ini yang tidak ada keterangannya dari agama itu, maka amalan itu tertolak.”
[Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2697). dan Muslim (no. 1718 [17,18])]

Demikianlah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.
Atas dasar inilah kedua hadits agung tersebut menjadi pedoman agama, baik yang pokok maupun cabangnya, juga yang lahir dan batinnya. Di mana hadits: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits: “Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolok ukur lahiriah setiap amal.

Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian bahwa setiap amalan akan menjadi benar jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti contoh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal, yang lahir maupun yang batin.

Oleh karena itu, siapa pun yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, maka amalannya akan diterima dan siapa pun yang tidak memenuhi dua syarat tersebut atau salah satunya, maka amalannya tertolak.
[Bahjah Quluubil Abraar (hlm. 33), Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cet. Daar-Ibnu Hazm.]

Demikianlah yang dinyatakan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“... Untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya ....” (QS. Al-Mulk: 2)

Beliau berkata: “Maksudnya, ia ikhlas dan benar dalam mengerja­kannya. Sebab, amalan yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Dan jika ia benar tetapi tidak ikhlas, maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah yang dikerjakan sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.”
[Hilyatul ‘Auliyaa’ (VIII/98, no. 11487). Lihat Tafsiir al-Baghawi (IV/340), Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/72), dan Madaarijus Saalikiin (I/95)].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sebagian ulama Salaf ber­kata: ‘Tidaklah suatu pekerjaan—meskipun kecil—melainkan dibentang­kan kepadanya dua catatan (pertanyaan): mengapa dan bagaimana? Yakni, mengapa engkau melakukannya dan bagaimana engkau melakukannya?’
[Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatil Lahfaan (hlm. 35)].

Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada dorongan dan tujuan tertentu dari berbagai tujuan duniawi seperti ingin dipuji manusia, atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara tepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah?

Artinya, pertanyaan pertama adalah apakah engkau mengerjakan amal karena Allah ataukah karena untuk mengejar kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?

Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wasallam? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?

Maka, pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika ber­amal, sedangkan pertanyaan kedua berkaitan tentang mengikuti Sunnah. Sebab, Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali me­menuhi kedua syarat tersebut. Maka, agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedangkan agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi, amal yang diterima adalah jika hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang bertentangan dengan mengikuti Sunnah.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Sesung­guhnya amal yang diterima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima.”
[Tafsiir Ibnu Katsir (I/389), tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thayyibah].

Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu ‘Ajlan rahimahullah, ia berkata: “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria:
(1) takwa kepada Allah,
(2) niat baik, dan
(3) benar (sesuai Sunnah).”
[Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/71)].

Dapat disimpulkan bahwa sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat,” memiliki maksud bahwa segala amal akan berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja. Itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya.
[Lihat Fat-hul Baari (I/13) dan ‘Umdatul Qari (I/25)].

Atas dasar ini, maka seseorang sama sekali tidak dibenarkan menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang bathil dan amal yang bid’ah karena semata-mata niat baik dari orang yang mengerjakannya.

Penjelasan lainnya, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian: “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih.”
Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.

HUKUM MELAFAZHKAN NIAT

Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para Imam kaum Muslimin dalam seluruh amal ibadah, seperti bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak serta berjihad di jalan Allah, dan lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan sesuatu berbeda dengan apa yang diniatkannya dalam hati, maka yang diperhitungkan adalah apa yang diniatkan, bukan yang dilafazhkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak mencukupi menurut kesepakatan para Imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti.

Orang Arab biasa mengatakan: نَوَاكَ اللهُ بِخَيْرٍ (Allah menunjukkan kepadamu kebaikan).

Al-Qadhi Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar asy-Syafi’i rahimahullah ber­kata: “Melafazhkan niat di belakang imam (shalat) bukanlah perkara yang Sunnah, bahkan hukumnya makruh. Sedangkan jika sampai mengganggu orang lain, maka hukumnya haram. Barang siapa yang mengatakan bahwa melafazhkan niat termasuk Sunnah, maka ia salah dan tidak halal bagi siapa pun berkata tentang agama Allah tanpa ilmu.”
[Al-Qaulul Mubiin fii Akhthaa-il Mushalliin (hlm. 91)].

Abu ‘Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki rahimahullah  berkata: “Niat termasuk amalan hati dan melafazhkan niat adalah bid’ah. Di samping itu juga dapat mengganggu orang lain.”
[Al-Qaulul Mubiin fii Akhthaa-il Mushalliin (hlm. 91)].

Talaffuzh (melafazhkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam tidak pernah membaca nawaitu raf‘al hadatsil ashghar ketika berwudhu. Beliau tidak membaca: nawaitu raf‘al hadatsil akbar ketika mandi janabah (junub). Beliau pun tidak melafazhkan niat nawaitu fardha Zhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati... dan seterusnya ketika mulai shalat, atau ketika memulai puasa, dan lainnya.

Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorang pun, baik dengan riwayat yang shahih, dha’if, maupun mursal. Tidak seorang pun dari para Sahabat yang meriwayatkan dan tidak ada seorang pun dari para Tabi’in yang menganggap baik masalah ini dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang masyhur: Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi‘i, dan Ahmad.

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak pernah melakukan talaffuzh niat meskipun hanya sekali dalam shalatnya dan hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh para khalifahnya. Ini (tidak melafazhkan niat) adalah Sunnah beliau shallallaahu 'alaihi wasallam serta Sunnah para Sahabat dan tidak ada petunjuk yang lebih sempurna melainkan petunjuk Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, sebagaimana sabda beliau:
(( وَ خَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ))
“Sungguh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam.”

Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah (wafat th. 921 H) berkata: “Di antara perkara yang termasuk bid’ah adalah waswas dalam niat shalat. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan tidak juga oleh para Sahabat beliau. Mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat shalat, selain hanya takbiratul ihram saja. Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
‘Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah’ (QS. Al-Ahzaab: 21).”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa orang yang waswas dalam niat shalat dan bersuci adalah orang yang bodoh tentang syari’at dan telah rusak pikirannya.
[Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ (hlm. 295-296), tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman].

Sebab, kekeliruan orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi’i adalah karena kesalahfahaman dalam memahami perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah . Imam asy-Syafi’i rahimahullah  mengatakan: “Apabila seseorang berniat haji dan ‘umrah sudah mencukupi meskipun tidak dilafazhkan, berbeda dengan shalat karena shalat tidak sah melainkan dengan ucapan.”

Imam an-Nawawi rahimahullah  mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama dari madzhab Syafi’i) bahwa orang yang memahami bahwa ucapan itu (dengan mengucapkan ushalli...) adalah keliru, karena bukan demikian maksud Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi yang dimaksud oleh beliau adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul ihram.”
[Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (III/277)].

Jadi, dengan demikian para ulama memfatwakan bahwa melafazhkan niat adalah bid’ah dan mungkar dan jauh dari petunjuk Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Sumber: Syarah Arba'in An-Nawawi, hlm. 21-30
Penulis : Imam An-Nawawi rahimahullah
Pensyarah : Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Penerbit : Pustaka Imam Asy-Syafi'i
https://www.facebook.com/notes/pustaka-imam-asy-syafii/niat-baik-tidak-dapat-mengubah-yang-haram-menjadi-halal/10150215042310901

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar